Beranda | Artikel
Penjelasan Kitab Tajilun Nada (Bag. 3): Mengenal Isim Murab dan Mabni
Kamis, 15 Februari 2024

Apa itu Isim Mu’rab dan Mabni?

Ibnu Hisyam mengatakan,

 وَهُوَ ضَرْبَانِ : مُعْرَابٌ, وهو ما يَتَغَيَّرُ آخِرُهُ بِسَبَبِ الْعَوَامِلِ الدَّاخِلَةِ عَلَيْهِ كَزَيْدٍ, وَمَبْنِيٌّ، وَهُوَ بِخِلَافِهِ

Isim ada 2 macam, yaitu:

Pertama, mu’rab. Isim mu’rab adalah berubahnya akhir dari sebuah kata dikarenakan sebab masuknya ‘amil (faktor/penyebab) pada isim tersebut, seperti زَيْدٍ.

Kedua, mabni. Isim mabni adalah kebalikan dari isim mu’rab.

Syekh Muhammad ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwa setelah Ibnu Hisyam menyebutkan ciri-ciri isim, Ibnu Hisyam menyebutkan macam-macam isim yang ditinjau dari sisi i’rab (perubahan akhir sebuah katanya). Bahwasanya isim ada 2 macam:

Pertama, Isim mu’rab

Isim mu’rab adalah akhir dari katanya tersebut berubah dikarenakan masuknya ‘amil (faktor/penyebab). Contohnya:

قَدِمَ الضَّيْفُ

“Tamu itu telah tiba.”

رَأَيْتُ الضَّيْفَ

“Saya telah melihat tamu itu.”

سَلَّمْتُ عَلَى الضَّيْفِ

“Saya telah mengucapkan salam kepada tamu itu.”

Maka, akhir dari sebuah kata, yaitu huruf ف (fa) yang digaris bawahi tersebut bisa berubah. Bisa dibaca dhammah, fathah, dan kasrah karena masuknya ‘amil pada isim tersebut. Pada kalimat yang pertama, ‘amil-nya adalah قَدِمَ. Pada kalimat yang kedua, ‘amil-nya adalah رَأَى. Dan pada kata ketiga, ‘amil-nya adalah عَلَى.

Syekh Abdullah ibn Shalih Al-Fauzan menyebutkan ‘amil adalah yang menyebabkan akhir sebuah kata berubah dalam bentuk tertentu dari bentuk-bentuk i’rab (perubahan). ‘Amil ada 2, yaitu:

Pertama, lafzhi (eksplisit). Contohnya fi’il bisa menjadi ‘amil (penyebab) adanya fa’il, huruf jer, dan lain-lain.

Kedua, ma’nawi (implisit). Contohnya al-ibtida (berada di awal kalimat) yang merupakan alasan mubtada menjadi marfu’.

Ibnu Hisyam mengatakan,

ما يَتَغَيَّرُ آخِرُهُ

“Yang keadaan akhir katanya bisa berubah.”

Adapun i’rab, bukanlah sesuatu yang berubah pada awal kata ataupun tengah kata, karena itu masuk pada pembahasan ilmu sharaf. Contohnya: ketika membuat bentuk tasghir, فَلْسٍ menjadi فُلَيْسٌ dan  دِرْهَمٌ menjadi  دُرَيْهِمٌ.

Kedua, Isim mabni

Ibnu Hisyam mengisyaratkan isim mabni adalah kebalikan dari isim mu’rab. Syekh Abdullah ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya isim mabni adalah lawan isim mu’rab. Yaitu, isim mu’rab berubah keadaan akhir katanya, sedangkan isim mabni selamanya dalam keadaan satu keadaan. Tidak akan pernah berubah walaupun kemasukan ‘amil. Contohnya:

حَضَرَ الَّذِي فَازَ الْمُسَابَقَةِ

“Orang yang menang pada perlombaan itu telah datang.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai fa’il yang merupakan isim mabni.

هَنَّأْتُ الَّذِي فَازَ فِي الْمُسَابَقَةِ

“Saya mengucapkan selamat kepada orang yang menang dalam perombaan itu.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih yang merupakan isim mabni.

سَلَّمْتُ عَلَى اَّلذِي فَازَ فِي المُسَابَقَةِ

“Aku mengucapkan salam kepada orang yang menang dalam perlombaan itu.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai isim majrur yang merupakan isim mabni.

Kata اَّلذِي yang terdapat pada 3 contoh di atas adalah isim maushul mabni dengan tanda sukun. Tidak akan pernah berubah keadaan akhir kata isim tersebut, walaupun ada ‘amil rafa’, nashab, dan jer.

Tanda Isim mabni

Ibnu Hisyam mengatakan,

كَهَؤُلَاءِ فِي لُزُوْمِ الْكَسْر، وَكَذَلِكَ حَذَامِ وَأَمْسِ فِي لُغَةِ الْحِجَازِيِّيْنَ

“Contoh isim mabni adalah  حَذَامِ, أَمْسِ, هَؤُلَاءِ, selamanya berakhiran harakat kasrah menurut dialeg Hijaz.”

Syekh Muhammad ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya Ibnu Hisyam menyebutkan tanda isim mabni ada 4 macam, yaitu:

Pertama, mabni dengan harakat fathah;

Kedua, mabni dengan harakat sukun;

Ketiga, mabni dengan harakat dhammah; dan

Keempat, mabni dengan harakat kasrah.

Ibnu Hisyam menjelaskan isim mabni dimulai dari mabni dengan harakat kasrah. Isim mabni dengan harakat kasrah ada dua macam. Yaitu:

Pertama, disepakati mabni-nya dengan harakat kasrah. Seperti isim isyarah (kata tunjuk). Contohnya هَؤُلَاءِ. Semua orang Arab meng-kasrah akhir kata tersebut dalam semua keadaan. Contohnya:

هؤُلَاءِ الطُّلَّابِ مُجِدُّوْنَ

“Para siswa itu adalah siswa yang rajin.”

Kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim isyarah mabni dengan tanda kasrah dan kedudukannya rafa’ sebagai mubtada’.

هؤُلَاءِ وَرَأَيْتُ

“Saya telah melihat mereka.”

Kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim isyarah mabni dengan tanda kasrah dan kedudukannya manshub’ sebagai maf’ul bih (objek).

وَمَرَرْتُ بهؤُلَاءِ

“Saya berpapasan dengan mereka.”

Kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim isyarah mabni dengan tanda kasrah dan kedudukannya isim majrur kerena didahului huruf jer.

Adapun huruf هـ (ha) pada kata yang bergaris bawah tersebut adalah huruf tanbih. Huruf tanbih fungsinya adalah huruf yang menyiapkan konsentrasi pendengar terhadap apa yang akan disampaikan. Huruf tersebut mabni dengan tanda sukun dan tidak ada kedudukannya di dalam i’rab.

Kedua, diperselisihkan status mabni-nya dengan tanda kasrah. Ibnu Hisyam menyebutkan dua contoh:

Yang pertama, semua nama muannats yang berwazan فَعَالِ. Contohnya:

حَذَامِ

Julukan diberikan kepada perempuan di zaman jahiliyyah yang jujur dan benar dalam menukil berita.”

سَجَاحِ

Istri musalamah al-kadzab yang mengaku sebagai nabi.”

رَقَاشِ

Seorang wanita yang terkenal sebagai dukun perempuan.”

Menurut dialeg penduduk Hijaz, nama tersebut mabni dengan tanda kasrah ketika kedudukan rafa’, nashab, dan jer. Walaupun nama tersebut diakhiri oleh huruf ر (ra) ataupun tidak. Alasannya adalah dikarenakan diserupakan dengan kata نَزَالِ (turunlah). Kata tersebut adalah isim fi’il amr (isim yang bermakna fi’il). Contohnya:

هذِهِ حَذَامِ

“Ini adalah Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai khabar mabni dengan keadaan kasrah.

رَأَيْتُ حَذَامِ

“Aku telah melihat Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih (objek) mabni dengan tanda kasrah.

مَرَرْتُ بِحَذَامِ

“Aku telah melewati Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai isim majrur karena didahului huruf jer dan mabni dengan harakat kasrah.

Adapun sebagian Bani Tamim, menganggap kata tersebut mu’rab (bisa berubah) dan di-i’rab seperti ismuladzi laa yansharif. Contohnya:

هذِهِ حَذَامُ

“Ini adalah Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai khobar هذِه  marfu’ dengan tanda dhammah.

رَأَيْتُ حَذَامَ

“Aku telah melihat Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih (objek) manshub dengan tanda fathah.

مَرَرْتُ بِحَذَامَ

“Aku telah berpapasan dengan Hadzami.”

Kata yang bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai  isim majrur karena didahului huruf jer dan majrur dengan harakat kasrah.

Adapun mayoritas Bani Tamim, membedakan nama yang diakhiri huruf ر (ra), maka mabni dengan tanda kasrah. Sebagaimana pendapat yang dianut penduduk Hijaz. Contohnya ظَفَارِ (nama daerah di Yaman). Maka, kata tersebut mabni dengan tanda kasrah karena diakhiri huruf ر (ra). Adapun nama yang ber-wazan فَعَالٍ yang tidak berakhiran huruf ر (ra), maka kata tersebut mu’rab (bisa berubah) dan di-i’rab seperti ismuladzi laa yansharif.

Yang kedua: Kata yang diperselisihkan status mabni-nya adalah kata أمس . Penduduk Hijaz me-mabni-kan kata tersebut dengan tanda akhir kasrah pada semua keadaan i’rab dengan syarat:

Pertama, kata tersebut tidak berstatus sebagai zharaf (tidak menunjukkan keterangan waktu terjadinya perbuatan).

Kedua, kata tersebut tidak ada al.

Ketiga, tidak di-idhafah-kan.

Keempat, kata tersebut dimaksudkan artinya kemarin secara langsung. Bukan أمس  yang diartikan waktu “telah” secara umum. Contohnya dalam kalimat:

مَضَى أَمْسِ بِمَا فِيْهِ

“Kemarin beserta kejadian-kejadian yang terjadi pada waktu itu telah berlalu.”

Kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda kasrah di tempatnya rafa’ sebagai fa’il.

تَأَمَّلْتُ أَمْسِ بِمَا فِيْه

“Saya merenungi waktu kemarin dan kejadian yang terjadi pada waktu itu.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda kasrah di tempatnya nashab sebagai maf’ul bih.

ما رَأَيْتُهُ مُذْ أَمْسِ

“Saya tidak melihat dia sejak kemarin.”

Kata yang bergaris bawah tersebut di tempat kedudukan majrur sebagai mudhof ilaih dari kata مُذ.

Adapun sebagian penduduk Bani Tamim, menganggap kata kata tersebut mu’rab. Kata tersebut di-i’rab sebagaimana ismuladzi laa yansharif. Mereka me-rofa’-kan dengan tanda dhammah, nashab dan jer dengan tanda kasrah tanpa tanwin. Contohnya:

مَرَّ أَمْسُ بِمَا فِيْه

“Hari kemarin dan kejadian yang terjadi pada waktu itu telah lewat.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut kedudukannya marfu’ dengan tanda dhammah sebagai fa’il.

قَضَيْتُ أَمْسَ فِيْ الْمَكْتَبَةِ

“Saya habiskan hari kemarin di perpustakaan.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut kedudukannya manshub dengan tanda fathah sebagai maf’ul bih.

إِنْتَهَيْتُ مِنْ عَمَلِي مُذْ أَمْسِ

“Saya selesai dari pekerjaan saya sejak kemarin.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut kedudukannya majrur dengan tanda fathah sebagai isim majrur karena didahului huruf jer.

Mayoritas Bani Tamim menganggap kata tersebut ismuladzi laa yansharif ketika kedudukannya rafa’ saja dan mereka me-mabni-kan kata tersebut ketika kedudukannya manshub dan majrur. Sehingga, mayoritas Bani Tamim tidak memasukkan kata tersebut dalam kategori ismuladzi laa yansharif. Sehingga, mereka mengatakan:

مَرَّ أَمْسُ بِمَا فِيْه

“Hari kemarin dan kejadian yang terjadi pada waktu itu telah lewat.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut kedudukannya marfu’ dengan tanda dhammah sebagai fa’il.

قَضَيْتُ أَمْسِ فِيْ الْمَكْتَبَةِ

“Saya habiskan hari kemarin di perpustakaan.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda kasrah di tempat kedudukan mashub sebagai maf’ul bih.

انْتَهَيْتُ مِنْ عَمَلِي مُذْ أَمْسِ

“Saya selesai dari pekerjaan saya sejak kemarin.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda kasrah di tempat kedudukan majrur  karena didahului huruf jer.

Penjelasan أَمْس yang telah dijelaskan tersebut, apabila tidak berkedudukan sebagai zharaf, akan tetapi hanya menunjukkan makna kemarin secara langsung. Namun, apabila kata أَمْس bermakna dan berkedudukan sebagai zharaf (menunjukkan waktu terjadinya perbuatan) dengan makna في (di waktu kemarin). Contohnya:

سَرَّتْنِيْ زِيَارَتُكَ أَمْسِ

“Kunjunganmu kemarin membuatku bahagia.”

Maka, kata bergaris bawah tersebut berkedudukan sebagai zharaf (menunjukkan waktu terjadinya perbuatan) mabni dengan tanda kasrah menurut dua dialek Hijaz dan Bani Tamim.

Apabila yang dimaksudkan kata أَمْس tersebut adalah hari kemarin kapanpun secara umum, berupa mudhaf, dan ada أل, maka kata tersebut mu’rab. Contohnya:

قَضَيْنَا أَمْسًا فِي نُزْهَةٍ

“Kami habiskan waktu kemarin dengan liburan.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut manshub dengan tanda fathah sebagai maf’ul bih.

أَمْسُنا كَانَ جَمِيْلًا

“Masa lalu kami indah.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut marfu’ dengan tanda dhammah sebagai mubtada.

إنَّ الْأَمْسَ كَانَ جَمِيْلًا

“Sesungguhnya masa lalu itu adalah masa lalu yang indah.”

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut manshub dengan tanda fathah sebagai isim inna.

Kembali ke bagian 2: Macam-Macam Al-Kalimah (Kata)

Lanjut ke bagian 4: Insyaallah Bersambung

***

Penulis: Rafi Nugraha


Artikel asli: https://muslim.or.id/91476-penjelasan-kitab-tajilun-nada-bag-3-mengenal-isim-murob-dan-mabni.html